Rumoh Aceh
Rumoh Adat Atjeh
Pemerintah Belanda pada tahun 1914 membangun Rumoh Atjeh (Rumah
Aceh). Adapun fungsi Rumoh Atjeh tersebut sebagai tempat pameran barang-barang
yang berasal dari Aceh dalam Pameran Kolonial (de-koniale tenstoonsteling).
Pameran ini dilaksanakan di Semarang Jawa Tengah pada tanggal 13 s/d 15
Agustus 1915. Setelah selesai pameran, bangunan ini dibongkar dan dibawa
kembali ke Kutaradja. Selanjutnya rumoh tersebut dibangun sesuai dengan
bentuknya semula dan dijadikan Museum Aceh yang ditempatkan di samping lapangan
eksplanade Kutaradja. Masyarakat juga menyebut museum ini dengan nama “Rumoh
Aceh”. Museum itu sendiri pemakaiannya diresmikan pada tanggal 31 Juli 1915.
Saat ini Museum Negeri Aceh merupakan museum yang dikelola oleh Pemerintah dan
sebagai tempat penyimpanan berbagai benda bersejarah, baik dari masa kerajaan
hingga masa kemerdekaan. Koleksi yang ada di museum ini antara lain: Stempel
Kerajaan Aceh, Replika Makam Malikul Saleh, naskah kuno, Mata Uang Kerajaan
Aceh dan lain-lain.
Koleksi penting lain yang berada di museum ini adalah Lonceng Cakra Donya.
Mengenai keberadaan Lonceng Cakra Donya terdapat beberapa versi. Salah satunya,
berdasarkan angka tahun yang terdapat di bagian atasnya dapat diketahui bahwa
Lonceng ini merupakan hadiah dari Kaisar Cina kepada Sultan Aceh dalam rangka
mengikat persahabatan. Menurut Kremer dalam bukunya Aceh I bahwa Lonceng Cakra
Donya ini telah dibuat dalam tahun 1469. Lonceng ini berukuran lebih kurang
1,25 meter tinggi dan mempunyai lebar 0,75 meter. Pada tanggal 2 Desember 1915
pada masa Gubernur H.N.A Swart menguasai istana kerajaan memberi perintah untuk
menurunkan lonceng dari Pohon Ba’glondong karena khawatir pohon tersebut patah
dan lonceng akan rusak, sehingga lonceng itu diletakkan di tanah. Lonceng itu
diturunkan oleh orang-orang Cina, karena orang menganggap lonceng tersebut
berhantu.
Disinilah lonceng tersebut di tempatkan
Pada tahun 1939 lonceng sultan yang telah tua itu digantungkan dengan sebuah
rantai di dalam sebuah kubah dari kayu di depan Museum Negeri Aceh. Ternyata
pada saat lonceng itu dibersihkan pada bagian luarnya terdapat hiasan-hiasan
dengan simbol-simbol (ukiran-ukiran) dalam bentuk huruf Arab dan huruf Cina.
Simbol-simbol tersebut telah aus dan inskripsi dalam huruf Arab tidak dapat
dibaca lagi. Diduga bahwa tunangan-tunangan lonceng itu dahulu diberi
lapisan-lapisan emas. Tanda-tanda yang bermacam-macam itu telah dipahat ke
dalam besinya dan emasnya telah dimasukkan pada aluran-alurannya.
Lonceng itu mungkin merupakan lonceng kuil dan telah berkarat seluruhnya,
sedangkan emasnya telah hilang dari bentuk-bentuk hurufnya dan mungkin sudah
diambil oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Huruf-huruf Cina pada
lonceng itu berbunyi Sing Fang Niat Toeng Juut Kat Yat Tjo yang dapat
diartikan sebagai berikut “ Sultan Sing Fa yang telah dituang di dalam 12 dari
tahun 5”.
- Asal-Usul
Kepercayaan individu atau masyarakat dan
kondisi alam di mana individu atau masyarakat hidup mempunyai pengaruh
signifikan terhadap bentuk arsitektur bangunan rumah yang dibuat. Hal ini
dapat di lihat pada arsitektur Rumoh Aceh, Provinsi Daerah
Istimewa Aceh, Indonesia.
Rumoh Aceh merupakan rumah panggung dengan tinggi
tiang antara 2,50-3meter, terdiri dari tiga atau lima ruang, dengan satu ruang
utama yang dinamakan 'rambat'. Rumoh dengan
tiga ruang memiliki 16 tiang, sedangkan Rumoh dengan lima ruang memiliki 24
tiang. Modifikasi dari tiga ke lima ruang atau sebaliknya bisa
dilakukan dengan mudah, tinggal menambah atau menghilangkan bagian yang
ada di sisi kiri atau kanan rumah. Bagian ini biasa disebut 'seuramoe likoet'
atau serambi belakang dan 'seuramoe reunyeun' atau serambi bertangga, yaitu
tempat masuk ke Rumoh yang selalu berada di sebelah timur. Pintu utama
Rumoh Aceh tingginya selalu lebih rendah dari ketinggian orang dewasa. Biasanya ketinggian pintu ini hanya berukuran
120-150 cm sehingga setiap orang yang masuk ke Rumoh Aceh harus menunduk.
Namun, begitu masuk kita akan merasakan ruang yang sangat lapang karena di
dalam Rumoh tak ada perabot berupa kursi atau meja. Semua orang duduk bersila di atas tikar ngom (dari bahan
sejenis ilalang yang tumbuh di rawa) yang dilapisi tikar pandan. Rumoh
Aceh bukan sekadar tempat hunian, tetapi merupakan ekspresi keyakinan
terhadap Tuhan dan adaptasi terhadap alam.
Oleh karena itu, melalui Rumoh Aceh
kita dapat melihat budaya, pola hidup, dan nilai-nilai yang diyakini oleh
masyarakat Aceh. Adaptasi masyarakat Aceh terhadap lingkungannya dapat
dilihat dari bentuk Rumoh Aceh yang berbentuk panggung, tiang
penyangganya terbuat dari kayu pilihan, dindingnya dari papan,
dan atapnya dari rumbia. Pemanfaatan alam juga dapat dilihat ketika mereka
hendak menggabungkan bagian-bagian rumah, mereka tidak menggunakan
paku tetapi menggunakan pasak atau tali pengikat dari rotan. Walaupun
hanya terbuat dari kayu, beratap daun rumbia dan
tidak menggunakan paku, Rumoh Aceh bisa bertahan hingga 200 tahun.Pengaruh
keyakinan masyarakat Aceh terhadap arsitektur bangunan rumahnya dapat
dilihat pada orientasi rumah yang selalu berbentuk memanjang dari timur ke
barat, yaitu bagian depan menghadap ke timur dan sisi dalam atau belakang
yang sakral berada di barat.Arah Barat mencerminkan upaya masyarakat Aceh untuk membangun garis imajiner
dengan Ka'bah yang berada di Mekkah. Selain itu, pengaruh keyakinan dapat juga
dilihat pada penggunaan tiang-tiang penyangganya yang selalu berjumlah
genap, jumlah ruangannya yang selalu ganjil, dan anak tangganya yang berjumlah
ganjil.
Selain sebagai manifestasi dari keyakinan masyarakat dan adaptasi
terhadap lingkungannya, keberadaan Rumoh Aceh juga untuk menunjukkan status
sosial penghuninya. Semakin banyak hiasan pada Rumoh Aceh, maka pastilah
penghuninya semakin kaya. Bagi keluarga yang tidak mempunyai kekayaan berlebih,
maka cukup dengan hiasan yang relatif sedikit atau bahkan tidak ada sama
sekali. Seiring perkembangan zaman yang menuntut semua hal dikerjakan
secara efektif dan efisien, dan semakin mahalnya biaya pembuatan dan
perawatan Rumoh Aceh, maka lambat laun semakin sedikit orang Aceh
yang membangun rumah tradisional ini. Akibatnya, jumlah Rumoh Aceh semakin
hari semakin sedikit. Masyarakat lebih memilih untuk membangun rumah modern berbahan beton yang pembuatan dan
pengadaan bahannya lebih mudah dari pada Rumoh Aceh yang pembuatannya
lebih rumit, pengadaan bahannya lebih sulit, dan biaya perawatannya
lebih mahal. Namun, ada juga orang-orang yang karena kecintaannya terhadap arsitektur warisan
nenek moyang mereka ini membuat Rumoh Aceh yang ditempelkan pada rumah beton
mereka. Keberadaan Rumoh Aceh merupakan
pengejawantahan dari nilai-nilai yang hidup dan dijalankan
oleh masyarakat Aceh. Oleh karena itu, melestarikan Rumoh
Aceh berarti juga melestarikan eksistensi masyarakat Aceh itu sendiri.
Ide pelestarian Rumoh Aceh akan semakin menemukan momentum pasca tsunami yang
menimpa Aceh pada taggal 26 Desember 2004 lalu. Pasca tragedi bencana alam
tersebut, beragam orang dari berbagai bangsa datang tidak hanya membawa
bantuan tetapi juga membawa tradisi yang belum tentu cocok dengan
nilai-nilai yang berkembang di Aceh.
Rumoh Atjeh terlihat dari sisi depan
Waah.. sungguh indah ya Rumoh Adat Atjeh. Penasaran kan... Silahkan kunjungi langsung ke Museum Rumoh Adat atjeh. Disana juga anda bisa melihat benda-benda peninggalan zaman yang tentunya bersejarah.
No comments:
Post a Comment