1. Sejarah
Kerajaan Aceh Darussalam berdiri menjelang keruntuhan Samudera Pasai. Sebagaimana tercatat dalam sejarah, pada tahun 1360 M, Samudera Pasai ditaklukkan oleh Majaphit, dan sejak saat itu, kerajaan Pasai terus mengalami kemudunduran. Diperkirakan, menjelang berakhirnya abad ke-14 M, kerajaan Aceh Darussalam telah berdiri dengan penguasa pertama Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil Awal 913 H (1511 M) . Pada tahun 1524 M, Mughayat Syah berhasil menaklukkan Pasai, dan sejak saat itu, menjadi satu-satunya kerajaan yang memiliki pengaruh besar di kawasan tersebut. Bisa dikatakan bahwa, sebenarnya kerajaan Aceh ini merupakan kelanjutan dari Samudera Pasai untuk membangkitkan dan meraih kembali kegemilangan kebudayaan Aceh yang pernah dicapai sebelumnya.
Kerajaan Aceh Darussalam berdiri menjelang keruntuhan Samudera Pasai. Sebagaimana tercatat dalam sejarah, pada tahun 1360 M, Samudera Pasai ditaklukkan oleh Majaphit, dan sejak saat itu, kerajaan Pasai terus mengalami kemudunduran. Diperkirakan, menjelang berakhirnya abad ke-14 M, kerajaan Aceh Darussalam telah berdiri dengan penguasa pertama Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil Awal 913 H (1511 M) . Pada tahun 1524 M, Mughayat Syah berhasil menaklukkan Pasai, dan sejak saat itu, menjadi satu-satunya kerajaan yang memiliki pengaruh besar di kawasan tersebut. Bisa dikatakan bahwa, sebenarnya kerajaan Aceh ini merupakan kelanjutan dari Samudera Pasai untuk membangkitkan dan meraih kembali kegemilangan kebudayaan Aceh yang pernah dicapai sebelumnya.
Pada awalnya, wilayah kerajaan
Aceh ini hanya mencakup Banda Aceh dan Aceh Besar yang dipimpin oleh
ayah Ali Mughayat Syah. Ketika Mughayat Syah naih tahta menggantikan
ayahnya, ia berhasil memperkuat kekuatan dan mempersatukan wilayah Aceh
dalam kekuasaannya, termasuk menaklukkan kerajaan Pasai. Saat itu,
sekitar tahun 1511 M, kerajaan-kerajaan kecil yang terdapat di Aceh dan
pesisir timur Sumatera seperti Peurelak (di Aceh Timur), Pedir (di
Pidie), Daya (Aceh Barat Daya) dan Aru (di Sumatera Utara) sudah berada
di bawah pengaruh kolonial Portugis. Mughayat Syah dikenal sangat anti
pada Portugis, karena itu, untuk menghambat pengaruh Portugis,
kerajaan-kerajaan kecil tersebut kemudian ia taklukkan dan masukkan ke
dalam wilayah kerajaannya. Sejak saat itu, kerajaan Aceh lebih dikenal
dengan nama Aceh Darussalam dengan wilayah yang luas, hasil dari
penaklukan kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya.
Sejarah
mencatat bahwa, usaha Mughayat Syah untuk mengusir Portugis dari seluruh
bumi Aceh dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil yang sudah berada
di bawah Portugis berjalan lancar. Secara berurutan, Portugis yang
berada di daerah Daya ia gempur dan berhasil ia kalahkan. Ketika
Portugis mundur ke Pidie, Mughayat juga menggempur Pidie, sehingga
Portugis terpaksa mundur ke Pasai. Mughayat kemudian melanjutkan
gempurannya dan berhasil merebut benteng Portugis di Pasai.
Kemenangan
yang berturut-turut ini membawa keuntungan yang luar biasa, terutama
dari aspek persenjataan. Portugis yang kewalahan menghadapi serangan
Aceh banyak meninggalkan persenjataan, karena memang tidak sempat mereka
bawa dalam gerak mundur pasukan. Senjata-senjata inilah yang digunakan
kembali oleh pasukan Mughayat untuk menggempur Portugis.
Ketika
benteng di Pasai telah dikuasai Aceh, Portugis mundur ke Peurelak.
Namun, Mughayat Syah tidak memberikan kesempatan sama sekali pada
Portugis. Peurelak kemudian juga diserang, sehingga Portugis mundur ke
Aru. Tak berapa lama, Aru juga berhasil direbut oleh Aceh hingga
akhirnya Portugis mundur ke Malaka. Dengan kekuatan besar, Aceh kemudian
melanjutkan serangan untuk mengejar Portugis ke Malaka dan Malaka
berhasil direbut. Portugis melarikan diri ke Goa, India. Seiring dengan
itu, Aceh melanjutkan ekspansinya dengan menaklukkan Johor, Pahang dan
Pattani. Dengan keberhasilan serangan ini, wilayah kerajaan Aceh
Darussalam mencakup hampir separuh wilayah pulau Sumatera, sebagian
Semenanjung Malaya hingga Pattani.
Demikianlah, walaupun
masa kepemimpinan Mughayat Syah relatif singkat, hanya sampai tahun 1528
M, namun ia berhasil membangun kerajaan Aceh yang besar dan kokoh. Ali
Mughayat Syah juga meletakkan dasar-dasar politik luar negeri kerajaan
Aceh Darussalam, yaitu: (1) mencukupi kebutuhan sendiri, sehingga tidak
bergantung pada pihak luar; (2) menjalin persahabatan yang lebih erat
dengan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara; (3) bersikap waspada
terhadap negara kolonial Barat; (4) menerima bantuan tenaga ahli dari
pihak luar; (5) menjalankan dakwah Islam ke seluruh kawasan nusantara.
Sepeninggal Mughayat Syah, dasar-dasar kebijakan politik ini tetap
dijalankan oleh penggantinya.
Dalam
sejarahnya, Aceh Darussalam mencapai masa kejayaan di masa Sultan
Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1590-1636). Pada masa itu,
Aceh merupakan salah satu pusat perdagangan yang sangat ramai di Asia
Tenggara. Kerajaan Aceh pada masa itu juga memiliki hubungan diplomatik
dengan dinasti Usmani di Turki, Inggris dan Belanda. Pada masa Iskandar
Muda, Aceh pernah mengirim utusan ke Turki Usmani dengan membawa hadiah.
Kunjungan ini diterima oleh Khalifah Turki Usmani dan ia mengirim
hadiah balasan berupa sebuah meriam dan penasehat militer untuk membantu
memperkuat angkatan perang Aceh.
Hubungan
dengan Perancis juga terjalin dengan baik. Pada masa itu, Perancis
pernah mengirim utusannya ke Aceh dengan membawa hadiah sebuah cermin
yang sangat berharga. Namun, cermin ini ternyata pecah dalam perjalanan
menuju Aceh. Hadiah cermin ini tampaknya berkaitan dengan kegemaran
Sultan Iskandar Muda pada benda-benda berharga. Saat itu, Iskandar Muda
merupakan satu-satunya raja Melayu yang memiliki Balee Ceureumeen (Aula
Kaca) di istananya yang megah, Istana Dalam Darud Dunya. Konon, menurut
utusan Perancis tersebut, luas istana Aceh saat itu tak kurang dari dua
kilometer. Di dalam istana tersebut, juga terdapat ruang besar yang
disebut Medan Khayali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor
pasukan gajah, dan aliran sungai Krueng yang telah dipindahkan dari
lokasi asal alirannya.
Sebelum
Iskandar Muda berkuasa, sebenarnya juga telah terjalin hubungan baik
dengan Ratu Elizabeth I dan penggantinya, Raja James dari Inggris.
Bahkan, Ratu Elizabeth pernah mengirim utusannya, Sir James Lancaster
dengan membawa seperangkat perhiasan bernilai tinggi dan surat untuk
meminta izin agar Inggris diperbolehkan berlabuh dan berdagang di Aceh.
Sultan Aceh menjawab positif permintaan itu dan membalasnya dengan
mengirim seperangkat hadiah, disertai surat yang ditulis dengan tinta
emas. Sir James Lancaster sebagai pembawa pesan juga dianugerahi gelar
Orang Kaya Putih sebagai penghormatan. Berikut ini cuplikan surat Sulta
Aceh pada Ratu Inggris bertarikh 1585 M:
I
am the mighty ruler of the Regions below the wind, who holds sway over
the land of Aceh and over the land of Sumatra and over all the lands
tributary to Aceh, which stretch from the sunrise to the sunset.
(Hambalah
Sang Penguasa Perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di
atas tanah Aceh, tanah Sumatera dan seluruh wilayah yang tunduk kepada
Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari
terbenam).
Ketika Raja James berkuasa di Inggris, ia
pernah mengirim sebuah meriam sebagai hadiah kepada sultan Aceh.
Hubungan ini memburuk pada abad ke 18, karena nafsu imperialisme Inggris
untuk menguasai kawasan Asia Tenggara. Selain itu, Aceh juga pernah
mengirim utusan yang dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid ke Belanda, di
masa kekuasaan Pangeran Maurits, pendiri dinasti Oranye. Dalam kunjungan
tersebut, Abdul Hamid meninggal dunia dan dimakamkan di pekarangan
sebuah gereja dengan penuh penghormatan, dihadiri oleh para pembesar
Belanda. Saat ini, di makam tersebut terdapat sebuah prasasti yang
diresmikan oleh Pangeran Bernhard, suami Ratu Juliana.
Ketika
Iskandar Muda meninggal dunia tahun 1636 M, yang naik sebagai
penggantinya adalah Sultan Iskandar Thani Ala‘ al-Din Mughayat Syah
(1636-1641M). Di masa kekuasaan Iskandar Thani, Aceh masih berhasil
mempertahankan masa kejayaannya. Penerus berikutnya adalah Sri Ratu Safi
al-Din Taj al-Alam (1641-1675 M), putri Iskandar Muda dan permaisuri
Iskandar Thani. Hingga tahun 1699 M, Aceh secara berturut-turut dipimpin
oleh empat orang ratu. Di masa ini, kerajaan Aceh sudah mulai memasuki
era kemundurannya. Salah satu penyebabnya adalah terjadinya konflik
internal di Aceh, yang disebabkan penolakan para ulama Wujudiyah
terhadap pemimpin perempuan. Para ulama Wujudiyah saat itu berpandangan
bahwa, hukum Islam tidak membolehkan seorang perempuan menjadi pemimpin
bagi laki-laki. Kemudian terjadi konspirasi antara para hartawan dan
uleebalang, dan dijustifikasi oleh pendapat para ulama yang akhirnya
berhasil memakzulkan Ratu Kamalat Syah. Sejak saat itu, berakhirlah era
sultanah di Aceh.
Memasuki paruh kedua abad ke-18, Aceh mulai
terlibat konflik dengan Belanda dan Inggris yang memuncak pada abad
ke-19. Pada akhir abad ke-18 tersebut, wilayah kekuasaan Aceh di
Semenanjung Malaya, yaitu Kedah dan Pulau Pinang dirampas oleh Inggris.
Pada tahun 1871 M, Belanda mulai mengancam Aceh atas restu dari Inggris,
dan pada 26 Maret 1873 M, Belanda secara resmi menyatakan perang
terhadap Aceh. Dalam perang tersebut, Belanda gagal menaklukkan Aceh.
Pada tahun 1883, 1892 dan 1893 M, perang kembali meletus, namun,
lagi-lagi Belanda gagal merebaut Aceh. Pada saat itu, Belanda sebenarnya
telah putus asa untuk merebut Aceh, hingga akhirnya, Snouck Hurgronye,
seorang sarjana dari Universitas Leiden, menyarankan kepada
pemerintahnya agar mengubah fokus serangan, dari sultan ke ulama.
Menurutnya, tulang punggung perlawanan rakyat Aceh adalah para ulama,
bukan sultan. Oleh sebab itu, untuk melumpuhkan perlawanan rakyat Aceh,
maka serangan harus diarahkan kepada para ulama. Saran ini kemudian
diikuti oleh pemerintah Belanda dengan menyerang basis-basis para ulama,
sehingga banyak masjid dan madrasah yang dibakar Belanda.
Saran
Snouck Hurgronye membuahkan hasil: Belanda akhirnya sukses menaklukkan
Aceh. J.B. van Heutsz, sang panglima militer, kemudian diangkat sebagai
gubernur Aceh. Pada tahun 1903, kerajaan Aceh berakhir seiring dengan
menyerahnya Sultan M. Dawud kepada Belanda. Pada tahun 1904, hampir
seluruh Aceh telah direbut oleh Belanda. Walaupun demikian, sebenarnya
Aceh tidak pernah tunduk sepenuhnya pada Belanda. Perlawanan yang
dipimpin oleh tokoh-tokoh masyarakat tetap berlangsung. Sebagai catatan,
selama perang Aceh, Belanda telah kehilangan empat orang jenderalnya
yaitu: Mayor Jenderal J.H.R Kohler, Mayor Jenderal J.L.J.H. Pel, Demmeni
dan Jenderal J.J.K. De Moulin.
Kekuasaan Belanda berlangsung hampir
setengah abad, dan berakhir seiring dengan masuknya Jepang ke Aceh pada 9
Februari 1942. Saat itu, kekuatan militer Jepang mendarat di wilayah
Ujong Batee, Aceh Besar. Kedatangan mereka disambut oleh tokoh-tokoh
pejuang Aceh dan masyarakat umum. Hubungan baik dengan Jepang tidak
berlangsung lama. Ketika Jepang mulai melakukan pelecehan terhadap
perempuan Aceh dan memaksa masyarakat untuk membungkuk pada matahari
terbit, maka, saat itu pula mulai timbul perlawanan. Di antara tokoh
yang dikenal gigih melawan Jepang adalah Teungku Abdul Jalil. Kekuasaan
para penjajah berakhir ketika Indonesia merdeka dan Aceh bergabung ke
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
2. Silsilah
Berikut ini daftar para sultan yang pernah berkuasa di kerajaan Aceh Darussalam:
1. Sultan Ali Mughayat Syah (1496-1528 M)
2. Sultan Salahuddin (1528-1537).
3. Sultan Ala‘ al-Din al-Kahhar (1537-1568).
4. Sultan Husein Ali Riayat Syah (1568-1575)
5. Sultan Muda (1575)
6. Sultan Sri Alam (1575-1576).
7. Sultan Zain al-Abidin (1576-1577).
8. Sultan Ala‘ al-Din Mansur Syah (1577-1589)
9. Sultan Buyong (1589-1596)
10. Sultan Ala‘ al-Din Riayat Syah Sayyid al-Mukammil (1596-1604).
11. Sultan Ali Riayat Syah (1604-1607)
12. Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1607-1636).
13. Iskandar Thani (1636-1641).
14.
Sri Ratu Safi al-Din Taj al-Alam/Paduka Sri Sultanah Ratu Safiatuddin
Tajul-’Alam Shah Johan Berdaulat Zillu’llahi fi’l-’Alam binti al-Marhum
Sri Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam Shah(1641-1675).
15. Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam/Sultanah Nurul Alam Naqiyatuddin Syah (1675-1678)
16. Sri Ratu Zaqi al-Din Inayat Syah/Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah(1678-1688)
17. Sri Ratu Kamalat Syah Zinat al-Din/Sultanah Zinatuddin Kamalat Syah (1688-1699)
18. Sultan Badr al-Alam Syarif Hashim Jamal al-Din (1699-1702)
19. Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui (1702-1703)
20. Sultan Jamal al-Alam Badr al-Munir (1703-1726)
21. Sultan Jauhar al-Alam Amin al-Din (1726)
22. Sultan Syams al-Alam (1726-1727)
23. Sultan Ala‘ al-Din Ahmad Syah (1727-1735)
24. Sultan Ala‘ al-Din Johan Syah (1735-1760)
25. Sultan Mahmud Syah (1760-1781)
26. Sultan Badr al-Din (1781-1785)
27. Sultan Sulaiman Syah (1785-…)
28. Alauddin Muhammad Daud Syah.
29. Sultan Ala‘ al-Din Jauhar al-Alam (1795-1815) dan (1818-1824)
30. Sultan Syarif Saif al-Alam (1815-1818)
31. Sultan Muhammad Syah (1824-1838)
32. Sultan Sulaiman Syah (1838-1857)
33. Sultan Mansur Syah (1857-1870)
34. Sultan Mahmud Syah (1870-1874)
35. Sultan Muhammad Daud Syah (1874-1903)
Catatan:
Sultan Ala‘ al-Din Jauhar al-Alam (sultan ke-29) berkuasa pada dua
periode yang berbeda, diselingi oleh periode Sultan Syarif Saif al-Alam
(1815-1818).
3. Periode Pemerintahan
Kerajaan Aceh
Darussalam berdiri sejak akhir abad ke-15 hingga awal abad ke-20 M.
Dalam rentang masa empat abad tersebut, telah berkuasa 35 orang sultan
dan sultanah.
4. Wilayah kekuasaan
Di masa kejayaannya, wilayah kerajaan Aceh Darussalam mencakup sebagian pulau Sumatera, sebagian Semenanjung Malaya dan Pattani.
5. Struktur pemerintahan
Pada
masa Sultan Ala‘ al-Din Mansur Syah (1577-1589) berkuasa, kerajaan
Aceh sudah memiliki undang-undang yang terangkum dalam kitab Kanun
Syarak Kerajaan Aceh. Undang-undang ini berbasis pada al-Quran dan
hadits yang mengikat seluruh rakyat dan bangsa Aceh. Di dalamnya,
terkandung berbagai aturan mengenai kehidupan bangsa Aceh, termasuk
syarat-syarat pemilihan pegawai kerajaan. Namun, fakta sejarah
menunjukkan bahwa, walaupun Aceh telah memiliki undang-undang, ternyata
belum cukup untuk menjadikannya sebagai sebuah kerajaan konstitusional.
Dalam
struktur pemerintahan Aceh, sultan merupakan penguasa tertinggi yang
membawahi jabatan struktural lainnya. Di antara jabatan struktural
lainnya adalah uleebalang yang mengepalai unit pemerintahan nanggroe
(negeri), panglima sagoe (panglima sagi) yang memimpin unit pemerintahan
Sagi, Kepala Mukim yang menjadi pimpinan unit pemerintahan mukim yang
terdiri dari beberapa gampong, dan keuchiek atau geuchiek yang menjadi
pimpinan pada unit pemerintahan gampong (kampung). Jabatan struktural
ini mengurus masalah keduniaan (sekuler). Sedangkan pemimpin yang
mengurus masalah keagamaan adalah tengku meunasah, imam mukim, kadli dan
para teungku.
6. Kehidupan Sosial Budaya
a. agama
Dalam
sejarah nasional Indonesia, Aceh sering disebut sebagai Negeri Serambi
Mekah, karena Islam masuk pertama kali ke Indonesia melalui kawasan
paling barat pulau Sumatera ini. Sesuai dengan namanya, Serambi Mekah,
orang Aceh mayoritas beragama Islam dan kehidupan mereka sehari-hari
sangat dipengaruhi oleh ajaran Islam ini. Oleh sebab itu, para ulama
merupakan salah satu sendi kehidupan masyarakat Aceh. Selain dalam
keluarga, pusat penyebaran dan pendidikan agama Islam berlangsung di
dayah dan rangkang (sekolah agama). Guru yang memimpin pendidikan dan
pengajaran di dayah disebut dengan teungku. Jika ilmunya sudah cukup
dalam, maka para teungku tersebut mendapat gelar baru sebagai Teungku
Chiek. Di kampung-kampung, urusan keagamaan masyarakat dipimpin oleh
seseorang yang disebut dengan tengku meunasah.
Pengaruh Islam
yang sangat kuat juga tampak dalam aspek bahasa dan sastra Aceh.
Manuskrip-manuskrip terkenal peninggalan Islam di Nusantara banyak di
antaranya yang berasal dari Aceh, seperti Bustanussalatin dan Tibyan fi
Ma‘rifatil Adyan karangan Nuruddin ar-Raniri pada awal abad ke-17; kitab
Tarjuman al-Mustafid yang merupakan tafsir Al Quran Melayu pertama
karya Shaikh Abdurrauf Singkel tahun 1670-an; dan Tajussalatin karya
Hamzah Fansuri. Peninggalan manuskrip tersebut merupakan bukti bahwa,
Aceh sangat berperan dalam pembentukan tradisi intelektual Islam di
Nusantara. Karya sastra lainnya, seperti Hikayat Prang Sabi, Hikayat
Malem Diwa, Syair Hamzah Fansuri, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah
Melayu, merupakan bukti lain kuatnya pengaruh Islam dalam kehidupan
masyarakat Aceh.
b. Struktur sosial
Lapisan sosial
masyarakat Aceh berbasis pada jabatan struktural, kualitas keagamaan dan
kepemilikan harta benda. Mereka yang menduduki jabatan struktural di
kerajaan menduduki lapisan sosial tersendiri, lapisan teratasnya adalah
sultan, dibawahnya ada para penguasa daerah. Sedangkan lapisan berbasis
keagamaan merupakan lapisan yang merujuk pada status dan peran yang
dimainkan oleh seseorang dalam kehidupan keagamaan. Dalam lapisan ini,
juga terdapat kelompok yang mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad.
Mereka ini menempati posisi istimewa dalam kehidupan sehari-hari, yang
laki-laki bergelar Sayyed, dan yang perempuan bergelar Syarifah. Lapisan
sosial lainnya dan memegang peranan sangat penting adalah para orang
kaya yang menguasai perdagangan, saat itu komoditasnya adalah
rempah-rempah, dan yang terpenting adalah lada.
c. Kehidupan sehari-hari
Sebagai
tempat tinggal sehari-hari, orang Aceh membangun rumah yang sering
disebut juga dengan rumoh Aceh. Untuk mencukupi kebutuhan hidup, mereka
bercocok tanam di lahan yang memang tersedia luas di Aceh. Bagi yang
tinggal di kawasan kota pesisir, banyak juga yang berprofesi sebagai
pedagang. Senjata tradisional orang Aceh yang paling terkenal adalah
rencong, bentuknya menyerupai huruf L, dan bila dilihat dari dekat
menyerupai tulisan kaligrafi bismillah. Senjata khas lainnya adalah
Sikin Panyang, Klewang dan Peudeung oon Teubee.
No comments:
Post a Comment