Sunday, January 19, 2014

Peristiwa Karam KMP Gurita Dilaut Sabang

KMP Gurita berbobot mati 146 ton, dengan panjang 31,1 meter dan lebar 7,82 meter. Kecepatannya 9 mil perjam, memiliki 225 kapasitas tempat duduk dan bisa mengangkut 14 kendaraan roda empat. Feri tersebut dipergunakan untuk penyeberangan Balohan (Sabang) - Malahayati (Aceh Besar) sejak tahun 1987. Sebelumnya, kapal buatan Jepang tahun 1970  ini melayani jalur Kupang-Larantuka.

KMP GURITA
 
Kapal feri yang saat itu merupakan alat transportasi utama yang melayani rute Sabang - Banda Aceh hilang dan tak kembali lagi. KMP Gurita ini karam antara 5 - 6 mil laut dari Perairan Teluk Balohan, Kota Sabang, Aceh. Berdasarkan data yang dihimpun, 40 orang dinyatakan selamat, 54 orang ditemukan meninggal, dan 284 orang dinyatakan hilang bersama-sama dengan KM Gurita yang tidak berhasil di angkat dari dasar laut.

Awalnya Kapal ini berangkat dari Pelabuhan Malahayati, Krueng Raya, Aceh Besar, pukul 18.45 WIB menuju kota Sabang tanggal 19 Januari 1996. Menurut rencana, kapal tersebut seharusnya tiba di Pelabuhan Balohan pukul 21.00 WIB. Kapal ini menurut penuturan saksi mata yang menyaksikan keberangkatan kapal, melihat kapal memang kelebihan sekaligus sarat muatan, karena kapal yang memiliki kapasitas 210 orang, ternyata disesaki hingga mencapai 378 orang (282 orang warga Sabang, 200-an warga luar Sabang, serta 16 Warga Negara Asing), itupun diperparah dengan muatan barang yang mencapai 50 ton, meliputi 10 ton semen, 8 ton bahan bakar, 15 ton tiang beton listrik, bahan sandang-pangan kebutuhan masyarakat Sabang serta 12 kendaraan roda empat dan 16 roda dua. Kejadian itu terjadi tiga hari sebelum pelaksanaan ibadah puasa, yaitu 22 Januari 1996. Jum'at sore itu ramai sekali penumpang yang hendak berangkat ke Sabang dengan Kapal Motor Penyeberangan (KMP) Gurita yang bersandar di Dermaga Pelabuhan Malahayati, Aceh Besar. Tidak ada yang aneh ketika sejumlah penumpang bergerak memasuki kapal yang tergolong tua tersebut. Hanya muatan yang penuh sesak dan seakan ini sudah menjadi kelaziman. Jadwal pelayaran pada Jumat sore, 19 Januari 1996 itu bertambah padat karena menyambut masuknya bulan suci Ramadhan yang jatuh pada 22 Januari 1996. Dalam tradisi masyarakat Aceh, satu atau dua hari menjelang Ramadhan adalah meugang, di mana pada saat-saat itulah semua anggota keluarga sedapat mungkin bisa berkumpul. Saksi mata yang tak jadi berangkat dengan KMP Gurita karena melihat kondisi kapal yang sarat penumpang mengakui, pada saat meninggalkan Pelabuhan Malahayati, kapal yang naas tersebut sarat penumpang dan barang.

“Saya takut melihat kapal tersebut, jadi saya turun dan membatalkan untuk berangkat,” ujar Daud, penduduk Sabang yang membatalkan niatnya menumpang KM Gurita pada malam itu. Sebagai seorang pedagang yang terbiasa menumpang KM Gurita, Daud mengakui, pada malam keberangkatan dari pelabuhan Malahayati, rasa takutnya tidak dapat ditolak. Ia gelisah. Ada bisikan hati yang melarang Daud berangkat malam itu. “Bisikan itu yang membuat saya selamat,” katanya.

Kisah lainya juga bernada sama, di ungkapkan oleh Buchari (27), pemuda yang dikenal sebagai guru komputer di Sabang. Dia menceritakan, pada malam itu ia tak jadi pulang ke Sabang, karena ada “sesuatu” yang melarang. Padahal, nama Buchari sudah tercantum sebagai penumpang nomor satu pada manifest. “Saya selamat, karena mengurungkan niat pulang malam itu,” ujar Buchari.

Detik-detik karamnya KMP Gurita
 
Di kegelapan malam yang mencekam itu, KM Gurita mengalami gangguan cuaca dan angin kencang dari arah timur. Terjadinya gangguan, ditambah muatan yang melebihi kapasitas, mengakibatkan kapal tersebut menjadi oleng. Nahkoda tak dapat menguasai kapal yang oleng ke kiri dan ke kanan. Saksi mata mengatakan pada pukul 20:15 WIB, kapal penyeberangan itu masih terlihat dari pelabuhan Balohan. Sanak keluarga yang datang menjemput tak memperkirakan kapal tersebut sedang mengalami gangguan dan tengah berjuang melawan badai. Lampu masih terlihat jelas dari KM Gurita. Namun sekitar pukul 20:30 WIB, kapal penyeberangan itu sudah tidak terlihat lagi. Sampai saat itu, belum ada satu pun pejabat di pelabuhan Sabang yang menyatakan kapal mengalami musibah. Pencarian terus dilakukan. hubungan dengan kapal terputus. Tak ada tanda-tanda apa pun yang bisa diterima dari kapal feri itu. Kepastian musibah baru diketahui empat jam setelah kejadian, yakni pada saat salah seorang penduduk Balohan, Syahril (22 tahun) penumpang KM Gurita mampu berenang mengarungi lautan dengan ombak yang ganas dan terdampar di Teluk Keunake. Kabar yang di bawa Syahril itulah yang memastikan bahwa KM Gurita tenggelam di dekat teluk Balohan. sejak saat itu, masyarakat di Pelabuhan Sabang, menjadi gelisah. Sebagian masih tetap tabah menanti kedatangan keluarganya, tetapi sebagian lagi mulai mencari daftar penumpang.

Dari penuturan Syahril yang mengatakan kapal tenggelam itulah, disimpulkan bahwa hasil penyelidikan final Tim Pencari Fakta yang bekerja selama sebulan menyatakan, jumlah penumpang yang ada di KM Gurita ternyata 378 orang. Jumlah orang itu diperoleh setelah seluruh data masuk dari masing-masing daerah. Dari jumlah itu, terbanyak berasal dari Sabang, mencapai 282 orang dan 16 warga negara asing (WNA). Sebenarnya, sejak beberapa tahun lalu masyarakat di Aceh, khususnya di pulau Sabang, sudah memperkirakan bakal terjadi musibah atas KM Gurita. Perkiraan itu setelah melihat kondisi feri penyeberangan tersebut yang sering batuk-batuk dan tak layak untuk berlayar lagi. Namun, karena terbatasnya armada angkutan, Ditjen Perhubungan Darat dalam hal ini PT ASDP (Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan) terus mengoperasikan secara reguler kapal tua yang dibuat tahun 1970 di galangan kapal Bina Simpaku, Tokyo, Jepang tersebut.

Mari kita kirimkan do'a untuk saudara-saudara kita yang tertimpa musibah. Semoga Allah memberi mereka syahid dan semoga kejadian seperti ini tidak terulang lagi atas masyarakat Aceh. Aamiin.. Ya rabbal 'alamin..
Allahummafirlahum..

**Mengenang tenggelamnya KMP Gurita (19 Januari 1996, Jum'at malam).

No comments: