KMP Gurita berbobot mati 146 ton, dengan panjang 31,1 meter dan lebar
7,82 meter. Kecepatannya 9 mil perjam, memiliki 225 kapasitas tempat
duduk dan bisa mengangkut 14 kendaraan roda empat. Feri tersebut
dipergunakan untuk penyeberangan Balohan (Sabang) - Malahayati (Aceh
Besar) sejak tahun 1987. Sebelumnya, kapal buatan Jepang tahun 1970 ini
melayani jalur Kupang-Larantuka.
KMP GURITA
Kapal feri yang saat
itu merupakan alat transportasi utama yang melayani rute Sabang - Banda
Aceh hilang dan tak kembali lagi. KMP Gurita ini karam antara 5 - 6 mil
laut dari Perairan Teluk Balohan, Kota Sabang, Aceh. Berdasarkan data
yang dihimpun, 40 orang dinyatakan selamat, 54 orang ditemukan
meninggal, dan 284 orang dinyatakan hilang bersama-sama dengan KM Gurita
yang tidak berhasil di angkat dari dasar laut.
Awalnya
Kapal ini berangkat dari Pelabuhan Malahayati, Krueng Raya, Aceh Besar,
pukul 18.45 WIB menuju kota Sabang tanggal 19 Januari 1996. Menurut
rencana, kapal tersebut seharusnya tiba di Pelabuhan Balohan pukul 21.00
WIB. Kapal ini menurut penuturan saksi mata yang menyaksikan
keberangkatan kapal, melihat kapal memang kelebihan sekaligus sarat
muatan, karena kapal yang memiliki kapasitas 210 orang, ternyata
disesaki hingga mencapai 378 orang (282 orang warga Sabang, 200-an warga
luar Sabang, serta 16 Warga Negara Asing), itupun diperparah dengan
muatan barang yang mencapai 50 ton, meliputi 10 ton semen, 8 ton bahan
bakar, 15 ton tiang beton listrik, bahan sandang-pangan kebutuhan
masyarakat Sabang serta 12 kendaraan roda empat dan 16 roda dua.
Kejadian itu terjadi tiga hari sebelum pelaksanaan ibadah puasa, yaitu
22 Januari 1996. Jum'at sore itu ramai sekali penumpang yang hendak
berangkat ke Sabang dengan Kapal Motor Penyeberangan (KMP) Gurita yang
bersandar di Dermaga Pelabuhan Malahayati, Aceh Besar. Tidak ada yang
aneh ketika sejumlah penumpang bergerak memasuki kapal yang tergolong
tua tersebut. Hanya muatan yang penuh sesak dan seakan ini sudah menjadi
kelaziman. Jadwal pelayaran pada Jumat sore, 19 Januari 1996 itu
bertambah padat karena menyambut masuknya bulan suci Ramadhan yang jatuh
pada 22 Januari 1996. Dalam tradisi masyarakat Aceh, satu atau dua hari
menjelang Ramadhan adalah meugang, di mana pada saat-saat itulah semua
anggota keluarga sedapat mungkin bisa berkumpul. Saksi mata yang tak
jadi berangkat dengan KMP Gurita karena melihat kondisi kapal yang sarat
penumpang mengakui, pada saat meninggalkan Pelabuhan Malahayati, kapal
yang naas tersebut sarat penumpang dan barang.
“Saya
takut melihat kapal tersebut, jadi saya turun dan membatalkan untuk
berangkat,” ujar Daud, penduduk Sabang yang membatalkan niatnya
menumpang KM Gurita pada malam itu. Sebagai seorang pedagang yang
terbiasa menumpang KM Gurita, Daud mengakui, pada malam keberangkatan
dari pelabuhan Malahayati, rasa takutnya tidak dapat ditolak. Ia
gelisah. Ada bisikan hati yang melarang Daud berangkat malam itu.
“Bisikan itu yang membuat saya selamat,” katanya.
Kisah
lainya juga bernada sama, di ungkapkan oleh Buchari (27), pemuda yang
dikenal sebagai guru komputer di Sabang. Dia menceritakan, pada malam
itu ia tak jadi pulang ke Sabang, karena ada “sesuatu” yang melarang.
Padahal, nama Buchari sudah tercantum sebagai penumpang nomor satu pada
manifest. “Saya selamat, karena mengurungkan niat pulang malam itu,”
ujar Buchari.
Detik-detik karamnya KMP Gurita
Di kegelapan malam yang mencekam itu, KM
Gurita mengalami gangguan cuaca dan angin kencang dari arah timur.
Terjadinya gangguan, ditambah muatan yang melebihi kapasitas,
mengakibatkan kapal tersebut menjadi oleng. Nahkoda tak dapat menguasai
kapal yang oleng ke kiri dan ke kanan. Saksi mata mengatakan pada pukul
20:15 WIB, kapal penyeberangan itu masih terlihat dari pelabuhan
Balohan. Sanak keluarga yang datang menjemput tak memperkirakan kapal
tersebut sedang mengalami gangguan dan tengah berjuang melawan badai.
Lampu masih terlihat jelas dari KM Gurita. Namun sekitar pukul 20:30
WIB, kapal penyeberangan itu sudah tidak terlihat lagi. Sampai saat itu,
belum ada satu pun pejabat di pelabuhan Sabang yang menyatakan kapal
mengalami musibah. Pencarian terus dilakukan. hubungan dengan kapal
terputus. Tak ada tanda-tanda apa pun yang bisa diterima dari kapal feri
itu. Kepastian musibah baru diketahui empat jam setelah kejadian, yakni
pada saat salah seorang penduduk Balohan, Syahril (22 tahun) penumpang
KM Gurita mampu berenang mengarungi lautan dengan ombak yang ganas dan
terdampar di Teluk Keunake. Kabar yang di bawa Syahril itulah yang
memastikan bahwa KM Gurita tenggelam di dekat teluk Balohan. sejak saat
itu, masyarakat di Pelabuhan Sabang, menjadi gelisah. Sebagian masih
tetap tabah menanti kedatangan keluarganya, tetapi sebagian lagi mulai
mencari daftar penumpang.
Dari penuturan Syahril yang
mengatakan kapal tenggelam itulah, disimpulkan bahwa hasil penyelidikan
final Tim Pencari Fakta yang bekerja selama sebulan menyatakan, jumlah
penumpang yang ada di KM Gurita ternyata 378 orang. Jumlah orang itu
diperoleh setelah seluruh data masuk dari masing-masing daerah. Dari
jumlah itu, terbanyak berasal dari Sabang, mencapai 282 orang dan 16
warga negara asing (WNA). Sebenarnya, sejak beberapa tahun lalu
masyarakat di Aceh, khususnya di pulau Sabang, sudah memperkirakan bakal
terjadi musibah atas KM Gurita. Perkiraan itu setelah melihat kondisi
feri penyeberangan tersebut yang sering batuk-batuk dan tak layak untuk
berlayar lagi. Namun, karena terbatasnya armada angkutan, Ditjen
Perhubungan Darat dalam hal ini PT ASDP (Angkutan Sungai, Danau dan
Penyeberangan) terus mengoperasikan secara reguler kapal tua yang dibuat
tahun 1970 di galangan kapal Bina Simpaku, Tokyo, Jepang tersebut.
Mari
kita kirimkan do'a untuk saudara-saudara kita yang tertimpa musibah.
Semoga Allah memberi mereka syahid dan semoga kejadian seperti ini tidak
terulang lagi atas masyarakat Aceh. Aamiin.. Ya rabbal 'alamin..
Allahummafirlahum..
**Mengenang tenggelamnya KMP Gurita (19 Januari 1996, Jum'at malam).
No comments:
Post a Comment