Menyaksikan pembacaan nisan Aceh oleh Peneliti Sejarah Kebudayaan Islam yang filsuf Tuan Taqiyuddin Muhammad di Kompleks Makam Meurah II di Gampong Ulee Tuy, Mata Ie, Kecamatan Darul Imarah, Aceh Besar pada Jumat 12 Desember 2014.
Petang, menjelang waktu ‘asar pada hari Jumat 12 Desember 2014, Mizuar Mahdi menghubungi dan mengatakan bahwa peneliti Sejarah dan Kebudayaan Islam Taqiyuddin Muhammad jadi meneliti nisan-nisan yang berada di Kumpulan Makam Meurah II di Gampong Ulee Tuy, Mata Ie, Darul Imarah, Aceh Besar.
Saya memang telah berjanji tadi malam bahwa akan mengunjungi penelitian di tempat yang dikabarkan memiliki nisan-nisan berukuran tinggi dan besar itu. Pemastian dari Mizuar Mahdi adalah kabar bagus. Maka saya dan Lodins pun berangkat menuju selatan dari tempat kami saat itu di Gampong Pineung, Banda Aceh.
Sebelum keluar dari Gampong Pineung, kami singgah di sebuah kedai nasi untuk makan. Lalu melanjutkan perjalanan. Setelah melewati empat persimpangan besar berlampu penanda (lampu merah) kami menikung ke selatan, arah Mata Ie, dari simpang empat Keutapang. Sesampai di hadapan kantor sebuah stasiun televisi pemerintah, saya memberi tanda kepada Mizuar Mahdi.
Dan dia pun menelpon kembali. Pemuda keturunan Turki itu memandu penjalanan dengan telepon genggam, sementara dia masih di kantor kerjanya. Mungkin dia tidak ingin saya tersesat lagi sebagaimana beberapa hari lalu dan pulang tanpa menemukan tempat yang dimaksud.
Dengan sabar, ia terus memandu. Akan tetapi, walaupun dipandu dari jarak jauh, saya masih sempat salah mengambil jalan sehingga harus memutar ke arah yang benar. Setelah menikungi persimpangan yang di sisinya ada pohon asam berukuran besar, Lodins terus melajukan kenderaan. Kami terus mengikuti panduan daripada jarak jauh.
Setelah sampai di sebuah rawa kecil yang dipenuhi oleh perdu-perdu rumbia, terlihatlah sebuah bukit kecil yang bagian atasnya rata. Saya pun terkejut, nisan-nisan berukuran besar pun terlihat. Ternyata itulah nisan-nisan yang disebutkan oleh Mizuar Mahdi beberapa waktu lalu.
“Apa Ustaz (Tgk Tqaqiyiddin Muhammad) ada di sana?” Tanya Mizuar Mahdi.
“Ya,” jawab saya karena peneliti tersebut terlihat tengah menatap kaligrafi (tulisan Arab berhiaskan seni) di sebuah nisan besar di antara puluhan nisan lainnya. Lalu pemuda turunan Turki itu pun menutup telepon dan saya melihat catatan, ia telah bicara selama dua belas menit untuk memandu saya. Luar biasa anak muda ini mahu memandu melalui telepon genggam selama itu.
Seorang lelaki yang berusia sekira setengah abad menyapa kami. “Apakah Teungku penjaga makam-
makam ini?” Tanya saya. Ia pun mengiyakannya. Dan saya terus berlalu dengan masygul.
Sebatang pohon keutapang berusia tua tinggi menjulang dan berukuran besar pun berdiri kukuh di pemakaman itu. Apabila ada tiga orang dewasa merentangkan kedua tangannya untuk memeluk pohon itu, mungkin hujung tangan mereka baru bisa bersentuhan. Saya suka dan takjub pada pohon besar yang rindang itu, akan tetapi nisan-nisan di sampingnya jauh lebih menyentuh hati saya.
Saya tidak berani berkata apa-apa dan tidak mencoba menyentuh pagarnya sekalipun. Takut. Ya, takut. Itu perasaan pertama saya tentang makam itu. Saya takut karena seakan-akan bisa merasakan aura yang terpancarkan dari nisan-nisan itu, aura pemahatnya, aura orang-orang yang disemayamkan di bawahnya.
Thayeb Loh Angen takjub pada nisan-nisan di Kumpulan Makam Meurah II, Ulee Tuy, Mata Ie, Aceh Besar. Jumat 12 Desember 2014. Foto: Lodins. |
“Betapa tinggi seni orang di masa silam, dan betapa orang-orang yang dimakamkan di sana telah memiliki sejarah hidup yang besar sehingga orang-orang membuat nisan yang begitu indah untuk mereka,” saya pun membatin.
Saya semakin takut ditambah merasa kecil. Saya tidak sanggup berkata apa-apa, bahkan memberikan salam untuk Taqiyuddin Muhammad dan penghuni makam itu pun saya tidak lagi ingat. Ketakutan dan kegamangan itu telah membuat saya membiarkan peneliti tersebut meneruskan tatapannya pada tulisan di nisan tanpa diusik oleh sapaan, apalagi pertanyaan daripada saya.
Perasaan takut telah menghantui saya karena melihat nisan-nisan berukiran seni tinggi yang berukuran besar dan jumlahnya empat puluh satu buah itu. Saya tidak sanggup menghayal tentang seni dan tingkatan ketinggian peradaban orang-orang Aceh di masa silam. Dan, saya tidak akan berani mereka-reka tentangnya, rekaan tentang sejarah adalah sampah.
Saya tidak akan mahu menambah sampah-sampah itu yang telah mengisi banyak pustaka dan kedai buku hasil kesimpulan sementara orang-orang tentang Aceh. Biarkanlah itu diterangkan oleh orang-orang seperti Taqiyuddin Muhammad yang telah menghibahkan hidupnya untuk itu.
Hari itu, maha guru dan pendiri LSM CISAH (Central Information for Samudera Pasai Heritage) itu sendirian menatap sebuah tulisan yang terpahat indah di batu nisan setinggi orang dewasa. Tidak ada orang lain di sana. Hanya deru-deru angin daripada arah persawahan.
“Dia sendiri datang ke sini dari jauh hanya untuk mengetahui apa yang telah dituliskan di pustaka terbuka atau batu nisan-batu nisan Aceh ini,” seru saya di dalam hati seraya terus memperhatikan kelakuannya di kumpulan makam yang telah dibersihkan tersebut.
“Tidak akan cukup usia untuk membaca itu,” seru saya lagi, masih di dalam hati. Kegamangan dan kemasygulan kembali menghinggapi diri saya. Hidup hampir tidak ada artinya. Di bawah nisan-nisan itu disemayamkan orang-orang berkuasa di masa mereka hidup, akan tetapi bahkan setelah nisan-nisan untuk mereka dibuat sedemikian megah, tidak ada yang mengingatnya.
Saya pun teringat surat al ‘Ashr di dalam kitab suci Al-Quran.
“Demi masa manusia berada di dalam kerugian, melainkan orang-orang yang beriman dan beramal shalih, serta mereka yang menyeru-nyerukan kebenaran dan mereka yang menyeru-nyerukan kesabaran.”
Taqiyuddin Muhammad menyapukan kapur tulis di atas ukiran nisan yang timbul supaya ia bisa dengan mudah membacanya. Saya tidak mendekatinya supaya ia bisa memusatkan pikiran pada pekerjaan itu. Akan tetapi ia menyadari kehadiran kami. Ia pun menyapa. Saya menjawab dengan suara berat dan tercekat. Ketakutan dan kegamangan masih menghinggap.
Kemudian, saya pun ke mesjid yang berada di dekat makam untuk menunaikan sembahyang ‘asar. Sementara Taqiyuddin Muhammad kini tengah bertinggung di hadapan sebuah nisan besar paling timur seraya menyapukan kapur tulis ke aksaranya.
Setelah selesai bersembahyang, saya pun mendekati pagar nisan-nisan itu dan masuk melalui pintunya yang terletak di sebelah barat, di tepi sebuah jalan di sisi papan namanya. Saya memandang dari jauh, memperhatikan nisan-nisan itu satu per satu. Maka perasaan gamang itu pun semakin kuat. Perasaan takut pun bercampur gundah. Betapa banyaknya sejarah yang masih tidak diketahui.
Di tengah barisan nisan itu, terdapat nisan paling besar dan tinggi. Saya memperhatikannya lebih lama daripada nisan yang lain. Akan tetapi tidak berencana menayakannya pada Taqiyuddin Muhammad tentangnya saat itu, saya seperti orang yang melihat betapa banyaknya mayat-mayat setelah perang.
Sampai di hujung timur barisan makam itu, saya takjub pada nisan besar yang tengah dibaca oleh Taqiyuddin Muhammad. Akan tetapi saya tidak menanyakan apapun. Taqiyuddin Muhammad butuh keheningan, pikir saya yang masih masygul.
Namun, ternyata ada sebuah makam bernisan seukuran paha dan setinggi lutut terletak paling timur. Saya tertawa di dalam hati. Sepasang nisan itu seperti seorang bayi di tengah orang-orang dewasa yang bertubuh besar. Karenanya kegamangan dan kemasygulan saya sirna sedikit.
Saya melintasi Taqiyuddin Muhammad yang masih memusatkan perhatiannya pada tulisan di nisan. Ia menyapa dengan ramah. Saya pun menjawab singkat untuk menghindari keadaan bahwa kehadiran saya telah mengusik perhatiannya pada pembacaan itu.
“Ini makam seorang Laksamana,” kata Taqiyuddin Muhammad menunjuk nisan terbesar paling timur, selang satu daripada nisan terkecil yang paling timur. Itu menghentikan langkah saya dan serta merta berbalik.
“Perempuan atau laki-laki?”
“Perempuan.”
“Apakah Keumala Hayati?”
“Bukan”
“Aceh Darussalam?”
“Ya.”
Taqiyuddin Muhammad pun menunjuk tulisan di makam, saya tidak bisa membacanya walaupun telah ditunjuk. Kapur tulis putih yang disapukan di timbulan pahatan itu telah terhapus. Tinggal putih tipis kabur.
“Tun Meurah. Orang Kaya Kapal,” kata Taqiyuddin Muhammad seraya menunjuk-nunjuk tulisan di batu itu yang dipahat dengan keahlian seni yang tinggi.
“Berarti sayalah orang yang pertama ia sampaikan hasil bacaan tersebut sehingga saya adalah orang kedua yang tahu bahwa ada seorang laksamana perempuan untuk Aceh Darussalam selain Keumala Hayati, setelah Taqiyuddin Muhammad yang pertama tahu sebagai penemu bukti sejarah itu karena bisa membacanya,” saya terkesan dengan kenyataan ini karena baru itu kali pertama saya mendengar ada seorang laksamana perempuan di Aceh Darussalam selain Keumala Hayati.
Lalu, saya melanjutkan ke barat untuk memperhatikan semua nisan di sana secara berkelilingan. Saya tidak bertanya apapun pada Taqiyuddin Muhammad tentang apa dan siapa yang dimakamkan di sana walaupun ingin mengetahui mengapa bentuk nisan di sana berbeda. Saya tidak menanyakanya supaya waktunya yang terbatas di sana bisa digunakannya untuk membaca nisan-nisan.
“Bahu-bahu nisan itu sebagian besar seperti menurut budaya India, bubuhan bunga bergaya Arab atau Turki atau Persia,” pikir saya merasakan bahwa gaya Hindu atau Buddha masih menghiasai bagian luar nisan dan bagian dalam yang lebih halus telah mengambil gaya Arab atau Persia atau Turki.
“Walapun ada gaya India (orang-orang menyebutnya gaya Hindu atau Buddha), akan tetapi hati orang Aceh telah bersatu dengan Arab (orang-orang menyebutnya gaya Islam),” pikir saya, mereka-reka filosofi daripada ukiran di nisan-nisan itu. Saya tidak tahu apakah orang lain atau para ahli berpikir seperti itu, akan tetapi saya mengambil kesimpulan begitu dan tidak akan peduli pada pendapat orang karena itu adalah penilaian terhadap sebuah gaya seni, bukan sejarah.
Taqiyuddin Muhammad pun mengambilkan tasnya, lalu menuju kulah (tempat wudhu’), lalu dia sembahyang ‘asar di sebuah balai di didekat makam. Balai dan masjid berada di luar pagar pemakaman Meurah II tersebut. Setelah menunaikan sembahyang ‘asar, ia turun daripda balai itu dan mendekati kami.
Anak-anak bermain sepak bola di sisi Kumpulan Makam Meurah II, Ulee Tuy, Mata Ie, Aceh Besar. Jumat 12 Desember 2014. Foto: Lodins. |
"Kita minum kopi di Lambaro,” kata Taqiyuddin Muhammad seraya menghidupkan kendaraan. Saat itulah muncul Khairil dan seorang anggota CISAH lainnya. Mereka datang tepat ketika kami ingin pulang. Kami pun meninggalkan tempat bersemanyam orang-orang yang telah berjasa mengiatkan negeri dan Islam selama hidupnya.
Kami menjauhi pemakaman Meurah II karena senja telah pun datang. Sementara di sana, anak-anak masih bermain sepak bola di landaian tanah di sisi makam di ketinggian bukit kecil yang di bawahnya ada persawahan dan rimbunan perdu-perdu rumbia. Di pematangan sawah, seorang lelaki menghalau dua ekor kambing untuk keluar daripada sawah yang terpagari dan telah ditanami padi.
Saya tidak mengajak Lodins untuk langsung pulang karena ingin bincang-bincang sedikit tentang Makam Meurah II dan pernelitian Taqiyuddin Muhammad seraya minum-minum kopi di kedai atau bincang-bincang di rumah Mizuar. Kami melewati jalanan kampung di antara rumah-rumah penduduk, bentangan persawahan lalu keluar ke jalan utama menuju Lambaro Kafe.
Sesampai di Lambaro Taqiyuddin Muhammad memilih duduk di sebuah kedai yang sepertinya ia telah beberapa kali ke sana. Ternyata di sebuah meja yang terletak di hadapan kami duduk, ada dua orang yang dikenalnya yang kemudian diminta pindah untuk semeja dengan kami. Itu adalah kawan-kawan lamanya, lulusan Timur Tengah.
Mereka berbicara dalam waktu sedikit lama. Kesempatan saya untuk bincang-bincang tentang Meurah II dan penelitiannya hari itu pun hilang. Pembicaraan tersebut membuat saya mual-mual karena berisi tentang belanja kuliah (beasiswa) dan pekerjaan menjadi pegawai pemerintah. Taqiyuddin Muhammad lebih banyak mendengarkan daripada berkata-kata.
“Betapa sabarnya dia mendengarkan pembicaraan orang-orang tentang hal yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan yang dia lakukan dan tidak ada gunanya sama sekali,” kata saya di dalam hati menyadari bahwa Taqiyuddin Muhammad berada di tingkatan lebih tinggi daripada saya tentang seni mendengarkan.
Ketika azan magrib terdengar, kami pun menuju masjid jamik Lambaro untu menunaikan sembahyang magrib. Saya tidak berniat untuk segera pulang karena berpikir mungkin setelah magrib punya kesempatan berbicara sedikit tentang Meurah II dan penelitiannya hari itu. Akan tetapi ketika kami baru saja duduk di sana, datang kawan yang kemudian tajuk pembicaraan tentang hal lain. Kemudian datang pulang seorang pencinta sejarah yang ia banyak bicara pula.
Setelah sekira dua jam, majelis kedai kopi itu pun bubar. Saya mengajak Lodins untuk pulang, tidak mungkin lagi mengikuti Taqiyuddin Muhammad ke Bitai atau kedai Punge di malam itu. Saya harus pulang dan sesegera mungkin menulis tentang perjalanan hari itu. Perjalanan untuk meneliti bukti sejarah adalah bagian terpenting daripada sejarah itu sendiri bahagi orang-orang di masa hadapan.
Demikianlah, saya telah mengambil banyak pelajaran dengan mengikuti filsuf Taqiyuddin Muhammad selama beberapa jam.
Oleh Thayeb Loh Angen, aktivis di Pusat Kebudayaan Aceh – Turki (PuKAT)
No comments:
Post a Comment